Press "Enter" to skip to content

Minat Pemuda Berkurang di Pertanian: Memburu Pekerja Panen, Pemesanan 15 Hari Sebelumnya

Sektor pertanian Indonesia menghadapi tantangan serius seiring dengan berkurangnya minat pemuda pertanian. Fenomena ini menyebabkan kelangkaan tenaga kerja di lapangan, terutama saat musim panen tiba. Kini, para petani bahkan harus memesan pekerja panen hingga 15 hari sebelumnya, menunjukkan betapa sulitnya menemukan generasi muda yang mau terlibat dalam aktivitas agraris.

Kondisi ini merupakan refleksi dari pergeseran paradigma pekerjaan di kalangan generasi muda. Banyak yang merasa bahwa pekerjaan di sektor pertanian tidak menjanjikan masa depan cerah, dengan penghasilan yang tidak stabil, kondisi kerja yang berat di bawah terik matahari atau hujan, serta kurangnya modernisasi. Mereka lebih memilih pekerjaan di perkotaan yang menawarkan gaji bulanan tetap, lingkungan yang lebih nyaman, atau kesempatan di sektor digital yang dianggap lebih prestisius. Akibatnya, lahan-lahan pertanian yang dulunya mudah mendapatkan tenaga kerja kini kesulitan, bahkan di momen krusial seperti panen raya.

Sebagai gambaran nyata, di sentra produksi komoditas pangan seperti padi di Jawa Timur, pada musim panen September 2024 lalu, banyak petani yang mengeluh karena harus menunggu berhari-hari untuk mendapatkan buruh panen. Situasi serupa juga terjadi di sentra sayuran dataran tinggi di Jawa Tengah, di mana pemuda pertanian semakin langka. Para koordinator buruh panen seringkali sudah penuh jadwalnya jauh hari sebelumnya, bahkan ada yang sudah di-pesan untuk dua minggu ke depan. Hal ini berdampak pada kualitas dan kuantitas hasil panen, karena keterlambatan dapat menyebabkan kerugian.

Minimnya regenerasi pemuda pertanian ini juga diperparah dengan kurangnya inovasi dan adopsi teknologi di banyak wilayah. Proses pertanian yang masih sangat mengandalkan tenaga manual membuat pekerjaan ini terasa semakin berat dan tidak menarik. Jika tidak ada upaya serius untuk memperkenalkan mekanisasi, digitalisasi pertanian, atau model agribisnis yang lebih modern, daya tarik sektor ini bagi generasi muda akan terus menurun.

Untuk mengatasi krisis ini, diperlukan pendekatan multidimensional. Pemerintah dan lembaga pendidikan harus bekerja sama untuk mengubah stigma pertanian menjadi sektor yang menjanjikan, melalui edukasi, pelatihan, dan pemberian insentif. Program yang mempromosikan teknologi pertanian presisi atau pertanian cerdas dapat menarik minat pemuda pertanian. Selain itu, memfasilitasi akses permodalan dan pasar yang lebih adil juga penting untuk meningkatkan kesejahteraan petani muda. Tanpa langkah-langkah konkret, ketahanan pangan nasional akan terus menghadapi ancaman serius.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.